Total Tayangan Halaman

Minggu, 17 Juni 2012

arti sebuah kejujuran


(ditulis oleh:Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husain Al-Atsariyyah)
Dalam kehidupan rumah tangga, dusta kepada pasangannya barangkali telah menjadi hal lumrah. Terlebih bila aroma perselingkuhan sudah merebak di antara mereka. Tak pelak, rasa percaya dan cinta pun akan terurai menjadi kebencian yang berujung pada kehancuran rumah tangga. Namun, dalam keadaan tertentu, dusta terkadang boleh dilakukan suami/ istri. Kapan? Simak bahasan berikut.
Dalam menjalani kehidupan ini, seorang insan yang beriman kepada Allah I dan hari akhir dituntut untuk melazimi kejujuran dalam ucapan maupun perbuatannya. Karena kejujuran merupakan sifat yang terpuji dalam syariat Allah I. Sementara dusta, lawan dari jujur, merupakan sifat yang tercela. Allah I berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 119)
Adalah Rasulullah n menekankan umatnya untuk berakhlak jujur melalui sabdanya yang mulia:
“Wajib bagi kalian untuk jujur, karena kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan. Sementara kebaikan itu akan membimbing ke surga. Terus menerus seorang hamba itu berlaku jujur dan membiasakan sifat ini hingga ia tercatat di sisi Allah sebagai seorang yang shiddiq (jujur). Hati-hati kalian dari dusta karena dusta itu akan membimbing kepada kejahatan. Sementara kejahatan itu akan membimbing ke neraka. Terus menerus seorang hamba itu dusta dan membiasakan sifat ini hingga ia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”1
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Nabi n mengabarkan bahwa kejujuran adalah asas yang berkonsekuensi kebaikan, sementara dusta adalah asas yang berkonsekuensi kejahatan. Allah I berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang baik itu berada dalam kenikmatan sedangkan orang-orang fujjar (jahat) itu berada dalam neraka jahannam.” (Al-Infithar: 13-14) (Makarimul Akhlaq, Ibnu Taimiyyah, hal. 126)
Dalam menjalani kehidupan berumah tangga pun, seorang insan, dalam posisinya sebagai suami maupun sebagai istri, dituntut untuk berpegang dengan sifat jujur dan menjauhi lawan dari sifat mulia ini. Karena kejujuran akan mengakibatkan jalannya rumah tangga menjadi lebih baik, dan sebaliknya ketidakjujuran pada akhirnya akan menghancurkan rumah tangga. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya sebuah rumah tangga bila sepasang suami istri tidak jujur kepada pasangan hidupnya. Si istri meminta izin kepada suaminya untuk menghadiri majelis taklim, misalnya. Akan tetapi, hajatnya keluar rumah tidak sekedar hadir di majelis taklim sebagaimana permintaan izinnya kepada suami. Ia malah mampir ke swalayan, jalan-jalan di mall, singgah di rumah teman, ngobrol, dan sebagainya. Sehingga ia yang semestinya sudah berada kembali di rumah sebelum dhuhur, tapi karena mampir ke mana-mana, baru tiba di rumah sore hari. Ia pun mengarang cerita dusta agar suaminya tidak menggerutui  keterlambatannya. Contoh lain misalnya, seorang istri membelanjakan harta suaminya dengan seenaknya. Dan ketika ditanyakan oleh suaminya, ia berdusta menyebutkan kebutuhan-kebutuhan yang ada.
Dua contoh di atas, jelas tidak pantas dilakukan seorang istri. Semestinya ia berlaku jujur kepada suaminya dalam ucapan maupun perbuatannya. Sebagaimana nasehat Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah kepada para istri: “Jadilah engkau seorang yang jujur kepada suamimu dalam segala sesuatu, khususnya tentang apa yang terjadi ketika suami sedang berada di luar rumah. Jauhilah dusta dan kepalsuan. Karena dusta itu bila satu kali dapat tertutupi maka akan terus dilakukan hingga tersingkap dan akhirnya menghilangkan kepercayaan. Dan bila kepercayaan itu telah hilang, niscaya sebuah rumah tangga tidak akan menjadi tempat ketenangan yang menggembirakan dan tidak pula menjadi tempat tarbiyah yang baik.” (Daurul Mar`ah fi Tarbiyatil Usrah, hal. 6)2
Menjaga Mawaddah dan Rahmah dalam Rumah Tangga
Dalam bergaul dengan istri, seorang suami semestinya berlaku lembut, berbicara dengan ucapan yang baik yang dapat menyenangkan istrinya dan menenangkan pikirannya. Perbuatan seperti ini merupakan salah satu faktor yang menjadikan cinta istri tetap bersemi kepada suaminya. Istri pun seharusnya berbuat demikian, ia berbicara dengan suaminya dengan ucapan yang baik yang dapat menyenangkannya, menenangkan pikiran dan mengembirakan hatinya. Yang demikian itu pun merupakan sebab tumbuhnya cinta suami kepada istrinya.
Keadaan yang penuh ketenangan, kebahagiaan, cinta dan kasih sayang dalam sebuah rumah tangga, antara suami dengan istrinya serta penghuni rumah lainnya, merupakan hal yang dikehendaki syariat yang mulia ini. Karena itulah syariat menetapkan aturan agar “keindahan” dalam rumah tangga itu tetap langgeng. Salah satunya bila pada kondisi tertentu, seorang suami atau istri terpaksa tidak berkata jujur kepada pasangannya. Maka, syariat tidak menyalahkan perbuatan tersebut selama tidak bertujuan untuk menggugurkan hak istri atau hak suami, dan tidak pula bertujuan untuk mengambil sesuatu yang bukan hak suami atau istri. Demikian dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t (Fathul Bari, 5/367). Seperti seorang suami secara berlebih-lebihan menggambarkan rasa cintanya kepada si istri, berlebih-lebihan menyanjung kecantikan istrinya di hadapan si istri atau seorang istri secara berlebih-lebihan mengungkapkan cintanya kepada si suami, berlebih-lebihan dalam memuji sifat keperwiraan sang suami, dan semisalnya, sementara kenyataan yang sebenarnya tidaklah seperti yang diungkapkan dan digambarkan. Dusta yang semacam ini tidaklah termasuk dusta yang tercela karena masing-masing bertujuan menyenangkan hati pasangannya, ingin menjaga rasa cinta dan terus memupuknya agar tetap bersemi indah di dalam jiwa.
Ibnu Hazm t menyatakan: “Tidak apa-apa salah seorang dari sepasang suami istri berdusta kepada pasangannya dalam perkara yang akan mendatangkan rasa cinta di antara keduanya.” (Al-Muhalla, 9/229)
Rasulullah n memberi keringanan untuk dusta yang semacam ini, sebagaimana beliau n memberi keringanan untuk dusta dalam rangka memperbaiki hubungan di antara hamba Allah I.
Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah bin Abi Mu‘ith x, salah seorang shahabiyyah yang ikut berhijrah di awal Islam yang berbai’at kepada Rasulullah n, mengabarkan apa yang pernah didengarnya dari beliau n:
“Bukanlah pendusta3, seseorang yang melakukan ishlah (perbaikan) di antara manusia dan ia mengatakan kebaikan dan menumbuhkan kebaikan.”4
Ibnu Syihab Az-Zuhri t berkata: “Aku tidak pernah mendengar Nabi n memberi rukhshah (keringanan) untuk satu kedustaan dari apa yang diucapkan manusia kecuali dalam tiga perkara: (pertama) berdusta dalam peperangan, (kedua) berdusta dalam rangka meng-ishlah (memperbaiki hubungan) di antara manusia, dan (ketiga) pembicaraan seorang suami dengan istrinya dan pembicaraan seorang istri dengan suaminya.”5
Asma` bintu Yazid x berkata: Rasulullah n bersabda:
“Tidak halal berdusta kecuali pada tiga keadaan; (pertama) seorang suami berbicara dengan istrinya untuk membuat istrinya ridha/ senang, (kedua) dusta dalam peperangan, dan (ketiga) dusta untuk mengishlah/ memperbaiki di antara manusia.”6
Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan dusta yang dibolehkan dalam hadits di atas. Sebagian berpendapat dusta di sini adalah dusta yang sebenarnya/ secara hakiki. Sebagian lainnya berpendapat tidak boleh dusta sama sekali dalam satu perkara pun. Adapun dusta yang dimaksudkan dalam hadits adalah tauriyah yaitu seseorang berkata kepada lawan bicaranya dengan ucapan yang tidak sesuai dengan kenyataan akan tetapi ucapan itu ada sisi benarnya. Ia maksudkan lain, sementara lawan bicaranya memahami lain sesuai dengan dzahir ucapannya. Misalnya ia berkata kepada seseorang: “Si Fulan itu memujimu”, sementara yang ia maksudkan: Si Fulan itu memuji orang yang sejenismu atau semisalmu dari kalangan muslimin, karena setiap orang memuji kaum muslimin tanpa menyebut individu per individu secara khusus. Atau ia berkata: “Si Fulan mendoakan kebaikan untukmu”, sementara yang ia maksudkan engkau masuk dalam doa si Fulan yang ia ucapkan ketika duduk tasyahhud dalam shalatnya7 karena engkau termasuk hamba Allah I. Contoh yang lain, seorang suami berjanji kepada istrinya untuk memberinya sesuatu, sementara ia inginkan pemberian itu diberikan bila Allah I menakdirkannya. (Syarhu Muslim, 16/158, Fathul Bari, 5/367, Syarhu Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t, 2/30-31)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Ketahuilah, dusta itu walaupun pada asalnya diharamkan namun pada kondisi tertentu dibolehkan dengan syarat yang telah aku jelaskan dalam kitab Al-Adzkar. Ringkasnya: ucapan itu adalah perantara kepada tujuan/ maksud. Maka setiap tujuan/ maksud yang terpuji yang mungkin dicapai tanpa berdusta maka diharamkan untuk berdusta. Namun bila tidak mungkin dicapai kecuali dengan berdusta maka boleh berdusta. Kemudian bila pencapaian maksud tersebut sifatnya mubah, maka dusta itu hukumnya mubah. Namun jika perkaranya wajib maka dusta dalam hal ini menjadi wajib. Bila seorang muslim bersembunyi dari seorang zalim yang hendak membunuh atau mengambil hartanya, maka ia pun menyembunyikan hartanya. Jika kemudian orang zalim tersebut bertanya kepada muslim tersebut, maka wajib berdusta untuk menyembunyikannya. Demikian pula bila dititipi sesuatu (oleh orang lain), sementara ada orang zalim yang ingin mengambilnya, maka wajib baginya berdusta untuk menyembunyikannya. Namun yang lebih hati-hati dari semua ini adalah ia melakukan tauriyah, ia memaksudkan dengan ucapannya maksud yang benar. Maka dari sisi ini ia tidak berdusta, sekalipun secara dzahir, lafadz dan apa yang dipahami oleh lawan bicara ia berdusta. Seandainya pun ia meninggalkan tauriyah dan ia memutlakkan ungkapan yang dusta maka pada keadaan ini tidaklah diharamkan.” (Riyadhus Shalihin, bab Bayanu ma Yajuzu minal Kadzib, hal. 459)
Dibolehkannya dusta dalam tiga perkara yang disebutkan dalam hadits, karena maslahat/ kebaikan yang ingin dicapai lebih besar. (Bahjatun Nazhirin, 3/70) Termasuk maslahat besar yang ingin dicapai adalah langgengnya kebersamaan dan kebahagiaan dalam sebuah rumah tangga, sehingga bila diperlukan tidak apa-apa berbicara yang tidak sebenarnya kepada pasangan hidupnya. Namun sekali lagi yang tidak boleh dilupakan, dusta tersebut dilakukan dalam rangka menampakkan rasa cinta dan memberi janji yang tidak berkaitan dengan kewajiban atau semisalnya. Adapun kalau dusta itu mengandung penipuan untuk mencegah tersampaikannya hak suami atau hak istri, atau dengan tujuan mengambil sesuatu yang bukan hak si suami atau hak si istri, maka dusta seperti ini haram dengan kesepakatan ulama. (Syarhu Muslim, 16/158)
Al-Khaththabi t menyatakan: “Dusta suami kepada istrinya misalnya dengan menjanjikan sesuatu kepada si istri dan menampakkan kepada si istri rasa cinta yang lebih dari apa yang ada dalam jiwanya, hal ini dilakukan untuk melanggengkan kebersamaan dengan pasangannya dan membaikkan budi pekertinya.” (Aunul Ma`bud)
Namun, kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t, hal seperti ini jangan terlalu sering dilakukan, karena bila suatu ketika didapati kenyataan tidak seperti yang diucapkan, maka terkadang keadaannya terbalik. Maunya menyenangkan pasangan hidup namun yang terjadi justru sebaliknya. Membuat ia marah dan kehilangan kepercayaan. (Syarhu Riyadhish Shalihin 2/30).
Wallahu  a’lam

1 HR. Al-Bukhari no. 6094, Kitab Al-Adab, bab Qaulillahi Ta‘ala: Yaa Ayuhal ladzina Amanu ittaqullaha wa Kunu Ma’ash Shadiqin dan Muslim no. 2607, Kitab Al-Birr wash Shilah, bab Qabhul Kadzib wa Husnush Shidq wa Fadhluhu.
2 Ceramah ilmiah yang pernah disampaikan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan pada 6 Dzulqa‘dah 1411 H, dan kami mengambilnya dari www.alfauzan.net
3 Yakni dusta yang tercela (Syarhu Muslim 16/157)
4 HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 2692, kitab Ash-Shulhu, bab Laisal Kadzib alladzi Yushlihu bainan Nasi dan Muslim dalam Shahih-nya no. 2605, kitab Al-Birru wash Shilah, bab Tahrimul Kadzib wa Bayanul Mubah minhu.
5 HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 2605, kitab Al-Birru wash Shilah, bab Tahrimul Kadzib wa Bayanul Mubah minhu. Dalam riwayat Al-Imam Ahmad 6/404, disebutkan bahwa Ummu Kultsum bintu ‘Uqbah x berkata:
“Nabi n memberi rukhshah (keringanan) untuk dusta dalam tiga perkara: (pertama) berdusta dalam peperangan, (kedua) berdusta dalam rangka mengishlah (memperbaiki hubungan) di antara manusia dan (ketiga) pembicaraan seorang suami kepada istrinya.” Dalam satu riwayat: “Perkataan suami kepada istrinya dan perkataan istri kepada suaminya.”
Asy-Syaikh Al-Albani t mengatakan bahwa sanad hadits ini di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim. Namun keduanya tidak mengeluarkannya dari sisi ini, namun dari sisi yang lain yakni dari ucapan Az-Zuhri. (Ash-Shahihah 2/83)
6 HR. Ahmad 6/459, 461 dan At-Tirmidzi no. 1939, bab Ma Ja‘a fi Ishlahi Dzatil Baini. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 545.
7 Yaitu ketika ia mengucapkan:
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih.”
Kata Nabi n:
“Sungguh bila kalian mengucapkannya, doa ini mengenai setiap hamba Allah yang shalih di langit dan di bumi.” (HR. Al-Bukhari no. 831, kitab Al-Adzan, bab At-Tasyahhud fil Akhirah dan Muslim no. 402, kitab Ash-Shalah, bab At-Tasyahhud fish Shalah)